Tradisi “nyumbang” di pernikahan : opiniku
Ilustrasi |
Bulan
depan (November 2017) tampaknya akan menjadi musim nikah bagi orang jawa (baca
suku jawa) karena undangan dari beberapa teman sudah mulai berdatangan. Itu
artinya aku harus mengeluarkan lebih banyak uang di bulan November untuk
“nyumbang”. Berhubung aku berstatus karyawan swasta yang berpendapatan sama
tiap bulan jadi aku harus berstrategi menyusun pengeluaran agar tidak over
budget dan tetap bisa nyumbang (dengan nominal yang sudah jadi standart
daerahku). Kenapa aku HARUS nyumbang padahal kalau mau jujur, undangan bulan
November itu lebih dari 7 dan itu memberatkan untuk aku yang stabilitas
ekonominya masih labil?
Sebelum
aku nulis ini, aku sudah baca beberapa artikel kredibel yang menjelaskan
tradisi nyumbang bagi suku Jawa (pokok bahasan dibatasi). Pada awalnya tradisi
nyumbang itu bertujuan sangat mulia dan tanpa tendensi apa-apa. Tujuannya
adalah meringankan beban yang punya acara/gawe. Dulu misalnya ada tetangga mau
menikahkan anaknya, tetangga sekitar membantu semampunya misal mampunya
menyumbang tenaga (rewang) ya nyumbang itu aja, mampunya membelikan beras 5 Kg
ya tidak jadi masalah dan tidak akan jadi bahan ghibah. Namanya nyumbang
berarti seikhlasnya, semampunya, tanpa paksaan dan tanpa mengharapkan timbal
balik.
Tapi
sekarang, tujuan dari nyumbang itu seolah telah kabur. Nyumbang sudah seperti
keharusan bagi yang menerima undangan kalau tidak mau jadi bahan pembicaraan. Nyumbang
juga jadi identitas pemberi, semakin dekat hubungan kekerabatan dengan yang
punya gawe secara otomatis harus nyumbang lebih besar daripada umumnya. Prinsip
sukarela dalam menyumbang juga telah bergeser menjadi prinsip sunnah muakad
(kalau tidak mau disebut memaksa/wajib), pakewoh
lah, takut dirasani adalah beberapa
unsur yang memberatkan untuk tidak nyumbang.
Padahal
idealnya nyumbang itu adalah panggilan jiwa (keikhlasan) bukan karena takut
dirasani, sungkan dan mengharap timbal balik. Sialnya, susah untuk aku
menerapkan apa yang aku tulis karena lingkaran pertemanan dan keluargaku sudah
terdoktrin hal tersebut sejak lahir dan mungkin mereka sebenarnya berpikir sama
dengan aku (out of the box) tetapi tidak ada yg speak up atau minimal berusaha
“meluruskan” tradisi.
Disclaimer :
Aku
tidak menyalahkan tradisi nyumbang, aku pro tradisi tersebut tetapi aku merasa
pergeseran nilai tradisi sudah terlalu jauh. Mulai adanya hukum “mengembalikan”,
keharusan dan nominal yang pada akhirnya bukan mendo’akan yg nikah malah ada
celetukan “halah, kok udah nikah aja sih”. Bukannya pada undangan pernikahan
tertulis do’a restu ya bukan sumbangan wajib. Anyway, banyak cerita miris yang
aku tau sendiri, seseorang rela ngutang hanya untuk datang ke kondangan
saudara, miris ya! Dan ada yang lebih miris, seorang anak harus mengundur
rencana baik pernikahan hanya karena orang tua belum ada dana untuk “buka
terop” so sad! Kenapa kita tidak bisa sesederhana Mark Zuckerberg ketika nikah?
Apakah gengsi selalu terdepan? Mari kita lebih “membumi” dalam segala hal.
Terlihat “waah” namun aslinya jauh dari kenyataan itu memalukan. Jangan
tersinggung, kita semua berproses menjadi pribadi lebih baik. Salam
baca juga :
http://duniayanu.blogspot.co.id/2007/09/dilema-tradisi-nyumbang.html
baca juga :
http://duniayanu.blogspot.co.id/2007/09/dilema-tradisi-nyumbang.html
No comments:
Post a Comment